JAKARTA, JP - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum
Partai Golkar Bambang Soesatyo mendukung pernyataan Presiden RI ke-5
Megawati Soekarnoputri agar Indonesia memiliki kembali sistem
ketatanegaraan yang benar sebagaimana para pendiri bangsa ini telah
meletakannya dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pasca Indonesia
merdeka. Bamsoet mendukung gagasan Megawati agar posisi MPR dikembalikan
menjadi lembaga tertinggi negara. Sejak dilakukan amendemen keempat UUD
1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang menjalankan
kedaulatan rakyat. MPR menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan
lembaga tinggi negara lainnya.
"Saya sepakat dengan apa
yang disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia Ibu Megawati
Soekarnoputri dalam sambutan tadi yang menyatakan posisi MPR
dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara. Ibu Megawati mengaku
sempat tidak terima saat MPR disamakan kedudukannya dengan DPR dan DPD.
Menurut Ibu Megawati seharusnya MPR tetap setingkat lebih tinggi
kedudukannya dibanding lembaga tinggi lainnya," ujar Bamsoet usai
menghadiri Peluncuran 58 Judul Buku Dalam Rangka Hari Jadi ke-58
Lemhannas di Jakarta, Sabtu (20/5/23).
Hadir antara lain Presiden
RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto,
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, Menkopolhukam Mahfud MD,
Menkumham Yasonna Laoly, MenPAN-RB Abdullah Azwar Anas, Menhub Budi
Karya Sumadi serta Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Ketua
DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan
Keamanan ini menuturkan, ketika negara-bangsa dewasa ini terus
menghadapi berbagai tantangan dan ancaman ideologi yang coba
menggoyahkan fondasi keutuhan NKRI dan Pancasila, gagasan atau pemikiran
tentang urgensi penguatan aspek ketatanegaraan menjadi sangat jelas
relevansinya.
Sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang
merubah UUD Negara 1945, mengangkat dan memberhentikan presiden/wakil
presiden sangat relevan jika MPR kembali diberi amanat melaksanakan
kedaulatan rakyat sepenuhnya seturut UUD 1945. Dan, atas nama kedaulatan
rakyat pula, MPR pun kembali berwenang menerbitkan Ketetapan (Tap) MPR
yang mengikat (regeling). Terutama kebutuhan akan Tap MPR untuk
merespons dan menangani krisis politik atau krisis konstitusi.
"MPR
pasca amendemen UUD NRI 1945 tidak bisa lagi membuat
ketetapan-ketetapan yang mengikat atau regeling. Bahkan, pada momentum
pelantikan presiden dan wakil presiden sekali pun, MPR tidak lagi
memiliki kewajiban membuat ketetapan tentang pelantikan itu. Melainkan
hanya mengeluarkan berita acara pelantikan," kata Bamsoet.
Ketua
Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD ini menegaskan, faktor
minimnya peran dan fungsi MPR pada aspek hukum ketatanegaraan inilah
yang menjadi dasar agar peran dan fungsi MPR RI diperkuat kembali.
Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan
wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat atau
regeling. Apalagi, hierarki perundang-undangan sudah ditetapkan oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR,
Undang-Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah
(Perda).
"Tidak ada tujuan lain dibalik aspirasi pemulihan atau
penguatan wewenang MPR. Satu-satunya tujuan strategis di balik aspirasi
ini adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif,
solutif dan komprehensif agar negara-bangsa selalu dimampukan mengelola
dan mengatasi aneka krisis. Termasuk krisis politik ataupun krisis
konstitusi," tandas Bamsoet.
Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu
Sosial & Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas
Perwira Purbalingga (UNPERBA) ini menambahkan, sebagai lembaga tinggi
negara yang berwenang mengubah UUD NRI Tahun 1945, mengangkat dan
memberhentikan presiden/wakil presiden, sangat relevan jika MPR RI
kembali diberi kewenangan melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya
sesuai UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan subjektif superlatif itu penting
berada di tangan MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan
politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan. Misalnya,
kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif)
dengan lembaga DPR (legislatif) atau kebuntuan politik pemerintah dan
DPR dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif).
"Siapa yang
berhak memutuskan jika terjadi suatu kondisi force majeure atau kahar
fiscal dalam skala besar, namun terjadi kebuntuan antara presiden dan
DPR? Lalu, jika terjadi perseteruan antara presiden (pemerintah) dengan
DPR, sementara negara masih dalam situasi kedaruratan yang tinggi siapa
yang menengahi? Menurut saya yang paling tepat adalah MPR sebagai
representasi pemegang kedaulatan rakyat tertinggi di Indonesia,' pungkas
Bamsoet.
(*) JP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar